Minggu, 04 Desember 2011

sosok seorang KARTINI

Siapa yang tak mengenal Kartini? Sosok wanita tangguh yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia, 21 April 1879 – dan meninggal di Rembang. Nama panjangnya adalah Raden Ayu kartini, tapi semua orang mengenalnya dengan Raden Ajeng Kartini. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan emansipasi wanita.
Apa sih itu emansipasi? Mengapa diperjuangkan oleh Kartini. Emansipasi di sini berarti pembebasan dari belenggu. Sejak jaman Majapahit, sebelum Islam masuk ke Indonesia. Wanita masih dianggap sebagai makhluk yang lemah. Para raja pada jaman itu wajar bila memiliki puluhan selir. Wanita hanya dianggap sebagai benda, pemuas nafsu para lelaki dan mengerjakan hal-hal remeh di rumah.
Kartini memperjuangkan bahwa wanita harus dimanusiakan, tidak diperlakukan layaknya benda. Terlebih lagi pada jaman Kartini muda, hanya para lelakilah yang boleh mendapatkan ilmu pendidikan. Wanita yang bisa meraih pendidikan hanyalah para wanita dari keturunan bangsawan. Itupun setelah si wanita selesai menuntaskan pendidikannya, dirinya tetap akan berakhir sebagai ibu rumah tangga di keluarganya.
Apa yang diperjuangkan oleh Kartini di sini adalah pembebasan dari belenggu sosial. Belenggu yang mengikat hak para wanita sejak jaman dahulu. Kartini sebagai sosok yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh kebebasan dalam mendapatkan ilmu pendidikan, menjadikan dirinya legenda, tokoh besar bagi Indonesia. Namun apakah hanya Kartini seorang, sosok wanita yang mendedikasikan dirinya sebagai pahlawan perjuangan emansipasi wanita? Nanti akan dibahas lebih lanjut tentang siapa saja tokoh selain Kartini yang sebenarnya memilki jasa yang tak kalah dengan Kartini.
Kartini merupakan seorang turunan bangsawan, yang berkesempatan menempuh pendidikan selama hidupnya. Dia mendapatkan hak meraih ilmu pendidikan yang tidak dimilki oleh wanita pribumi lainnya pada saat itu.
Selama menempuh pendidikannya, kartini mulai mengalami masa-masa kegelisahan dalam hatinya. Kartini muda merasakan kegelisahan mendalam mengenai hak-hak wanita pribumi dalam memperoleh ilmu pendidikan. Saat itu, Kartini memperoleh ide besar dalam dirinya untuk menggubah suatu perubahan bagi kaum wanita Indonesia melalui beberapa tahap.
Tahap pertama, melalui buku. Kartini muda membaca banyak buku dalam masa hidupnya. Salah satu buku yang dibacanya yang begitu menginspirasi Kartini muda adalah Max Havelar karya multatuli. Buku ini membuka cakrawala pemikiran kartini tentang kehidupan sosial di sekitarnya. Membuahkan ide pikiran untuk membantu kaum wanita keluar dari belenggu penjara sosial itu.
Tahap kedua, adalah melalui menulis. Ide tanpa tulisan hanyalah seperti balon terbang yang tidak bertali. Seperti pohon tak bearakar. Yang berarti akan mudah terbang hilang ataupun tumbang dengan mudah. Tidak berumur lama. Maka tulislah idemu kedalam tulisan. Bertukar ide dengan orang yang berpikiran sama. Kartini bertukar surat dengan sahabatnya di Belanda. Melalui tulisan itulah semakin mematangkan ide Kartini untuk melakukan perubahan pada kehidupan sosial di negaranya.
Tahap ketiga, milikilah mentor. Kartini, di semasa mudanya memiliki dua mentor. Yang pertama adalah pamannya sendiri. Dan yang kedua adalah Abendanon. Kartini bertemu dengannya di kereta dalam perjalanannya Solo-Jepara. Selama di kereta Kartini bertukar pikiran dengan Abendanon mengenai ketidakadilan sosial yang menimpa kaum wanita pribumi di Indonesia. Sampai setelah pertemuan itu, hubungan mereka tetap berlanjut. Melalui suratlah mereka tetap berkomunikasi. Membagi ide pemikiran Kartini mengenai perubahan sosial pada negarannya. Negara Indonesia.
Tahap keempat, yaitu penguasaan bahasa asing. Melalui kemampuan Kartini dalam berbahasa Belanda. Kartini dapat mengkomunikasikan buah pemikirannya dengan sahabt-sahabatnya di Belanda. Dengan begitu idenya tidak buntu di seputar Indonesia saja. Kartini melihat pusat pendidikan terbaik ada di Negara-negara Eropa. Di sana Kartini melihat suatu kemjuan yang begitu luar biasa dalam dunia pendidikan. Besar harapan Kartini untuk mwujudkan itu di Indonesia. Khususnya pada kaum wanita, yang pada saat itu masih terbelenggu dengan penjara sosial dalam meraih ilmu pendidikan.
Banyak hal besar yang telah dilakukan oleh Kartini. Mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi wanita. Menciptakan buku-buku hasil dari buah pemikiran Kartini terhadap gejala sosial yang tak seimbang di Indonesia.
Tapi apakah benar hanya Kartini seorang yang memperjuangkan emansipasi wanita. Padahal sejarah mencatat ada banyak tokoh wanita yang turut memperjuangkan keadilan wanita di Indonesia. Berikut beberapa tokoh wanita yang memperjuangkan emansipasi wanita yang mungkin belum kita kenal sebelumnya.
Rohana Kudus, beliau adalah tokoh yang lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884. Rohana Kudus meninggal di Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1972 di usia 87 tahun. Rohana Kudus adalah seorang wartawati. Seorang pemikir yang memilki ide besar untuk menghapuskan belenggu sosial pada kaum wanita pribumi di Indonesia.
Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Mentri Indonesia yang pertama dan juga bibi dari penyair terkenal Chairil Anwar. Rohana Kudus hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Tokoh lainnya adalah Dewi Sartika. Beliau lahir di Bandung, pada tanggal 4 Desember 1884. Dan meninggal di Tasikmalaya, pada 11 September 1947 di usia 62 tahun. Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Kartini, Rohana Kudus dan Dewi Sartika sama-sama memiliki dedikasi yang tinggi pada emansipasi wanita di Indonesia. Hasil yang mereka berikan pun juga tak kalah satu sam lainnya. Tapi mengapa hanya Kartini saja yang begitu melekat di ingatan kita sebagai pahlawan nasional pejuang emansiopasi wanita.
Ada banyak teori yang mengatakan mengapa hanya Kartini saja yang menjadi terkenal. Pertama, Kartini adalah murni orang jawa. Bila menganut teori jawaisme, yaitu segala sesuatu yang berasal dari tanah jawa, itulah yang akan diangkat dan dibesarkan namanya. Konsep sentralisasi pada pulau jawa inilah yang terus berkembang hingga sekarang. Dan menjelaskan mengapa semua presiden Negara Indonesia dominan berasal dari tanah jawa. Habibi lah satu-satunya presden dari luar jawa, dan itupun menjabat kepemimpinannya hanya sepuluh bulan saja. Dan teori yang kedua adalah teori pencitraan dari Belanda. Tercatat 14 tahun setelah kematian Kartini, Belanda menerbitkan buku yang mengangkat nama Kartini. Di buku itu dijelaskan tentang hubungan baik antara Kartini dengan sahabatnya dari Belanda. Menjelaskan bahwa Blenada bukanlah Negara yang haus akan kekuasaan belaka, yang telah menjajah Negara Indonesia selama tiga setengah abad lamanya. Melalui Kartini, Blelanda melakukan pencitraan pada dirinya sebagai Negara yang maju dan penuh kehormatan. Dan inilah yang menjelaskan mengapa hanya nama Kartini saja yang mencuat sebagai pahlawan nasional pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Karena hanya Kartinilah yang memiliki sejarah pernah berhubungan dengan Belanda. Dan dikuatkan dengan bukti, Kartini mampu berbahasa asing, yaitu bahasa Belanda.
Namun dari sekian banyak teori yang mendesak bahwa Kartini hanyalah alat pencitraan dari Negara saja. Tak dapat kita pungkiri juga berkat jasa-jasanya Kartinilah, semua itu mampu menginspirasi para wanita masa kini untuk memperoleh kebebasan meraih ilmu pendidikan setinggi-tigginya. Tidak terbelenggu oleh status gender yang melemahkan kaum wanita. Wanita masa kini mampu berprestasi seperti lelaki bahkan melampauinya. Kartini, sebagai Pahlawan, alat ataupun hanya sebagai nama fiktif yang dikarang saja. Tidak peduli apapun itu, yang terpenting adalah esensi perjuangan emansipasi wanitanya. Tidak boleh kita sangsikan bahwa wanita juga mampu berprestasi.
(Data diperoleh dari hasil Diskusi Mben Kemis di LPM EKONOMIKA FE UII pada tanggal 21 April 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More