Mungkin anda sudah bosan dengan cerita yang bermula dari pengalaman shooting mengenai Shaggydog, tapi saya berjanji inilah cerita terakhir yang bermula darisana. Sebuah poin utama yang saya dapatkan bagi saya pribadi. Pada dasarnya cerita ini datang bukan dari Shaggydog melainkan dari kawasan dimana band ini kerap meluangkan waktunya. Adalah Sayidan nama tempat itu, sebuah kampung kecil yang terletak di pinggir Kali Code, Jogja. Kalau anda belum tau letak kampung ini, dengarkan saja lirik lagu “Sayidan” dari Shaggydog dijamin anda tak bakal nyasar saat menuju kesana.
Sayidan adalah sebuah kampung kecil yang begitu “eksotis” bagi saya. Disana terangkum beragam manusia. Dari mulai Pak Mojo si ketua RT yang religius tapi juga memiliki sebuah tato di lengannya. Kemudian Mas Adit yang merupakan seorang Doggies (sebutan penggemar Shaggydog) yang kerap menuangkan air kedamaian namun tampak seperti anak kecil tatkala menonton konser. Rumahnya pun banyak dihiasi oleh atribut keagamaan dan birokrasi negara, patung bunda maria berjejer dengan sebuah gambar presiden SBY di rumah seorang Doggies, hanya akan terjadi di kampung Sayidan kawan.
Di sayidan, dijalan tuangkan air kedamaian
Namun jangan bayangkan kemudian menjadi sebuah kawasan yang isinya hanya keributan dan pertempuran ala Berlan lawan Palmeriam di Jalan Matraman. Sayidan adalah sebuah kawasan yang rukun, meski bisa jadi punya benih-benih untuk munculnya sebuah kerusuhan. Saya percaya bahwa suasana seperti ini sangat sulit terwujud di kota besar, sebut saja Jakarta. Di Sayidan orang-orang bisa kumpul dan nongkrong di pos ronda depan masjid sambil menuangkan “air perdamaian”, coba bayangkan kalau itu terjadi di Jakarta? Mungkin sudah terjadi keributan massal antara yang pakai sorban dan yang bau anggur merah.
Sayidan menjadi spesial bagi saya bukan karena kerukunan ataupun tetek bengeknya. Yang jadi perhatian saya adalah karena di kampung ini saya baru sadar kalau saya suka sesuatu yang eksotis. Saya senang melihat maupun mengamati sesuatu yang benar-benar asing bagi saya. Oke mungkin pola interaksi di Sayidan tidaklah asing bagi saya, namun masyarakat di kawasan padat penduduk ini begitu menarik bagi saya, eksotis tepatnya. Sebuah keadaan yang akan membuat anda bergumam, “Anjrot, ada ye tempat kaya gini!”. Sebuah ungkapan yang biasanya diikuti dengan garis batas jarak antara anda dan objek tersebut.
Pada dasarnya saya ingin melepaskan sifat saya ini, apalagi kalau saya mulai memandang seseorang eksotis. Seorang teman kuliah seangkatan misalnya selalu saya pandang eksotis karena keceriaannya adalah sebuah hasil kemarahan yang sangat mengenai sesuatu. Capek rasanya kalau sudah melihat keeksotisan sesuatu, untuk kemudian terus dikulik, seperti menelanjangi tanpa ada sebuah keakraban sebelumnya. Kalau seperti itu apa bedanya saya dengan pemerkosa? Hanya beda objek saja, namun sifatnya sepertinya sama saja.
0 komentar:
Posting Komentar